Senin, 28 Maret 2011

ANATOMI KEMISKINAN DI INDONESIA

Burhan. Entah mengapa ulasan-ulasan mengenai kemiskinan di berbagai mass media dan di forum-forum ilmiah tidak terlalu gencar. Mungkin publik serta pengambil keputusan di kalangan Pemerintahan menganggap kemiskinan sebagai masalah klasik dan pembahasan mengenai kemiskinan akan berputar-putar dalam suatu siklus yang tidak berujung pangkal. Padahal masalah kemiskinan adalah masalah kemanusiaan yang mendasar dan tidak sekedar masalah moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan sungguh dahsyat. Dan tidak jarang kemiskinan merenggut segala-galanya dari manusia termasuk harga diri seseorang.
Ada dua bahan kajian yang sungguh kaya dengan data dan informasi seputar kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan-badan resmi, Bappenas dan Biro Pusat Statistik (BPS). Bappenas mengeluarkan peta kemiskinan di Indonesia tahun 2003 dan BPS mengeluarkan pula kajian tentang data dan informasi kemiskinan tahun 2003. Inilah data dan informasi yang paling mutakhir yang seharusnya dapat dijadikan acuan utama dalam menganalisa kemiskinan di Indonesia. Peta kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bappenas memberikan gambaran yang cukup akurat tentang perspektif kemiskinan, diagnosa tentang kemiskinan, tetapi sayangnya, tidak diikuti dengan berbagai terapi yang ditawarkan untuk mengurangi armada orang miskin. BPS tentu hanya mencatat dan mensistemasikan data dan informasi kemiskinan. Data dan informasi ini sungguh sangat membantu dalam merumuskan kebijakan ke depan untuk mengentaskan kemiskinan. Tetapi sayangnya, seperti biasa, kajian-kajian yang berharga serta diolah cukup apik, layak dipercaya, dikerjakan oleh tenaga-tenaga terampil serta memakan biaya yang cukup besar, tidak ditindak lanjuti secepatnya. Bahkan terasa bahan-bahan yang berharga ini hampir tidak disosialisasikan ke masyarakat, kecuali BPS yang menggelar konferensi pers serta mempublikasikan temuannya mengenai kemiskinan serta angka-angka pengangguran di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Kemiskinan merupakan ketidak mampuan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non-pangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan dan kebutuhan transportasi. Ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut. Jadi di sini kita tidak menjamah isu sekitar ketimpangan dalam pembagian pendapatan atau kemiskinan relatif.
Bagi para pembaca yang suka menonton film, ada suatu tontonan film yang menggambarkan dahsyatnya kemiskinan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Film itu berjudul "City of Joy". Film ini mendemonstrasikan secara kasat mata keparahan kehidupan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh lingkaran kemiskinan. Film ini mengisahkan keluarga-keluarga miskin yang sungguh merana hidupnya disalah satu kota terpadat di dunia, yaitu Calcutta, India. Di sana digambarkan bagaimana orang-orang tua yang ringkih dan berpenyakit tuberculosis harus menarik riksaw, bagaikan kuda beban untuk sekedar menyambung hidup. Dan bagaimana perlakukuan buruk dari para pemilik riksaw yang tidak mengenal belas kasihan terhadap kaum papa ini. Dan kaum dhuafa ini harus menyerah karena tidak ada pilihan lain untuk sekedar menyambung hidupnya. Dalam film ini digambarkan pula tempat-tempat yang sangat kumuh dan tempat-tempat yang dipadati pekerja seks, wanita-wanita yang terpaksa menjual harga dirinya karena dicekik oleh kemiskinan. Keadaan kemiskinan di Indonesia tidak separah di India, meskipun dalam waktu 10 tahun terakhir ini, berkat ekonominya yang semakin terbuka, India menunjukkan hasil yang lumayan untuk mengurangi kemiskinan. Ada satu survei lapangan yang dikerjakan oleh Tim Pemantau Kemiskinan Departemen Keuangan belum lama berselang. Lokasi yang diambil adalah di Desa Tempel, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu. Masyarakat miskin di desa itu menggantungkan sumber hidupnya sebagai buruh tani. Pada saat panen, mereka bekerja sebagai buruh tani pada orang yang sedang memanen gabahnya. Apabila kerja memanen telah usai mereka akan melakukan apa yang dikenal dengan "ngoreh dami". Ngoreh dami, mengorek-korek jerami bekas lalu dibanting-banting untuk mencari sisa gabah. Lebih dari itu, mereka juga melakukan apa yang dikenal dengan "remi", membanting ulang jerami yang sudah dibanting orang lain dengan harapan masih mendapatkan butiran gabah yang mungkin masih tersisa. Ini baru satu gambaran nyata, di tempat yang tidak jauh dari Jakarta, bagaimana saudara-saudara sebangsa kita berusaha dengan semua daya yang ada sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang pasti jauh dari kecukupan. Karena itu para pembaca tidak usah aneh, dari Indramayu pula banyak wanita yang terpaksa menjadi pekerja seks komersial yang dampaknya juga luar biasa, misalnya terjangkitnya penyakit HIV/AIDS.
Gambaran sekelumit di atas dipaparkan dalam tulisan ini untuk mendorong kita semua terutama para pengambil keputusan agar semakin meneguhkan komitmen dan melaksanakan secara tepat upaya-upaya yang konkret untuk mengentaskan kemiskinan. Sebenarnya Indonesia sebelum masa krisis tahun 1997, menjadi salah satu model dimana pertumbuhan yang cukup tinggi rata-rata 7% per tahun, diikuti pula oleh penurunan angka kemiskinan yang berarti. Berdasarkan data yang dikeluarkan Bappenas dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di negeri ini mengalami penurunan yang berarti. Jika pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau sekitar 40% dari total penduduk, maka pada tahun 1981 jumlah penduduk miskin telah dapat diturunkan menjadi 40,6 juta jiwa atau hampir 27% dari total penduduk. Angka ini terus menurun, sehingga pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin telah kembali menurun menjadi sekitar 27 juta jiwa atau 15% dari total penduduk. Dan pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sedikit di atas 11%. Di penghujung tahun 1997, kita mengalami krisis yang sungguh parah yang mengakibatkan jumlah penduduk miskin membengkak kembali, sehingga pada tahun 1998 menjadi hampir 50 juta jiwa atau 24% dari jumlah penduduk. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir sejalan dengan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomipun sudah mulai meningkat, maka pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin turun menjadi 38 juta jiwa atau sedikit di atas 18% dari jumlah penduduk. Menurut catatan BPS, pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin absolut secara nasional sebanyak 37 juta jiwa atau sekitar 17,5% dari total penduduk Indonesia. Dilihat dari komposisi penduduk miskin, maka pada saat ini diperkirakan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan sekitar dua kali jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang miskin yang hidup di perkotaan. Penyumbang terbesar penduduk miskin tetap berada di Jawa, karena padatnya penduduk, kesuburan tanah yang menurun, terbatasnya harga jual hasil panen terutama gabah, serta alternatif sumber penghasilan yang lain sudah semakin sulit untuk ditemukan. Diagnosa sebab-sebab kemiskinan amat beragam. Di Jawa kemiskinan terutama disebabkan karena kepemilikan tanah yang terbatas, bahkan banyak diantara petani yang tidak mempunyai tanah dan hanya menjadi buruh tani. Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap fasilitas umum seperti pendidikan dan kesehatan dasar, serta sumber-sumber air bersih juga menimbulkan dampak kemiskinan. Pencemaran lingkungan yang hebat seperti sungai dan laut, tempat mata pencaharian penduduk, juga menimbulkan akibat kemiskinan. Demikian pula korupsi menyebabkan aset-aset yang seharusnya dimiliki publik telah berpindah tangan menjadi milik pribadi, juga dapat menjadi sumber kemiskinan. Konflik sosial dan politik serta bencana alam, apalagi jika sering terjadi, juga memberikan sumbangan bagi timbulnya kemiskinan.
Untuk mengurangi kemiskinan maka pembukaan lapangan kerja merupakan salah satu solusinya, dan untuk itu harus ada investasi. Tetapi investasi di perkotaan tidak akan banyak memberikan pengaruh penurunan kemiskinan di daerah pedesaan. Di daerah pedesaan harus dilakukan program-program khusus yang langsung dapat menyerang kantong-kantong kemiskinan. Karenanya dalam satu dekade terakhir ini diperkenalkanlah konsep pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan bagi kaum miskin (pro-poor growth). Pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar jangan dihalang-halangi. Tetapi berbarengan dengan itu harus ada intervensi Pemerintah yang memberikan prioritas khusus bagi peningkatan kegiatan ekonomi di pusat-pusat kemiskinan. Sebenarnya pada saat ini sudah banyak program yang digelar oleh Pemerintah untuk mengurangi kemiskinan. Paling tidak dapat dicatat ada 14 program besar, dengan total dana hampir 19 triliun untuk penanggulangan kemiskinan tahun 2004. Tetapi sayangnya, tidak selalu program itu tepat sasaran. Beras raskin, beras untuk masyarakat miskin, bunyinya memang menarik, tetapi survei lapangan menunjukkan tingkat efektifitasnya paling tinggi hanya 30%. Efektifitas program ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan program pemberian beasiswa. Tetapi program raskin sangat populer, dan muatan politisnya tinggi serta memakan dana yang tidak kecil, hampir mencapai 5,5 triliun rupiah. Jika dipilah-pilah lebih dalam, bukan tidak mungkin akan ditemui lagi program-program lain yang tidak tepat sasaran, padahal saat ini kita menghadapi keterbatasan anggaran belanja yang mengkawatirkan. Daerah-daerah yang kayapun komitmennya untuk penanggulangan kemiskinan belum dapat dibanggakan. Mudah-mudahan dengan gambaran sepintas ini dapat mendorong Pemerintah yang akan datang lebih serius dan lebih efektif dalam menolong nasib kaum miskin.
Pada dasarnya, masalah kemiskinan selalu berhimpitan dengan minimnya bahkan terkuncinya akses/kesempatan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi. Yang harus dipentingkan dalam proses ini adalah mendongkrak kualitas ekonomi masyarakat miskin – yang sebagian besar umat Islam - dan akses mereka terhadap pendidikan. Dalam pidato iftitah di Tanwir Muhammadiyah tahun 2003, di Makasar, saya mengingatkan bahwa pilar untuk membangun bangsa yang sudah rapuh-renta karena digerogoti penyakit korupsi adalah perbaikan mentalitas dan sistem pendidikan kita yang kacau balau. Tanpa mengarusutamakan peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat miskin dalam program-program aksi umat Islam, cita-cita untuk membangun peradaban zakat masih akan merupakan gumpalan asap gagasan.
Oleh karenanya, sebagai instrumen untuk membangun tatanan kemanusiaan-berkeadilan, reformulasi pengelolaan zakat tidak bisa tidak menyangkut permasalahan kemanusiaan yang bersifat struktural, utamanya kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kebodohan, dan pengangguran. Muhammad Akram Khan dalam An Introduction to Islamic Economics (1994) memasukkan zakat sebagai elemen penting dalam gerakan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Dalam konteks relasi masyarakat dan negara, institusi zakat bisa dianggap sebagai pranata politik kewargaan sehingga berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta jaminan sosial.

0 komentar:

Posting Komentar